Bagaimana cara shalat bagi wanita?
Kita lihat beberapa point yang telah diterangkan oleh gurunda Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan berikut ini.
1- Hendaknya setiap muslimah menjaga shalat pada waktunya dengan memenuhi syarat-syarat, rukun-rukun, dan wajib-wajib shalat. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“(Hendaklah kalian para wanita) dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Al-Ahzab: 33). Ini adalah perintah kepada muslimah secara umum.
Shalat adalah rukun kedua dari rukun Islam. Shalat adalah tiang agama Islam. Siapa saja yang meninggalkan shalat, maka ia telah keluar dari Islam karena laki-laki dan perempuan yang meninggalkan shalat bukanlah muslim.
2- Adapun menunda pengerjaan shalat hingga keluar waktunya tanpa ada uzur syar’i termasuk dalam menyia-nyiakan shalat. Allah Ta’ala berfirman,
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا (59) إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا (60)
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun.” (QS. Maryam: 59-60)
Yang dimaksud menyia-nyiakan shalat adalah mengerjakan hingga keluar waktunya. Sehingga ancaman yang diberikan adalah kelak ia akan mendapatkan ghayya (kerugian). Makna lain dari ghayya adalah nama lembah di Jahannam.
3- Tidak disyariatkan azan dan iqamah bagi wanita. Karena azan disyariatkan mengeraskan suara, padahal wanita tidak diperkenankan mengeraskan suara. Dalam kitab Al-Mughni (2:68), Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan, “Sepengetahuan kami, masalah ini tidak ada beda pendapat.”[1]
4- Setiap tubuh wanita adalah aurat dalam shalat kecuali wajahnya. Untuk telapak tangan dan kakinya ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Ini berlaku jika memang tidak ada laki-laki non-mahram yang melihatnya shalat. Jika ada laki-laki non-mahram yang melihatnya shalat, maka wajib menutup wajahnya. Sebagaimana wanita wajib menutup wajahnya dari pandangan laki-laki di luar shalat. Intinya dalam shalat hendaklah wanita menutup kepala, pundak, leher dan tubuh lainnya sampai kakinya juga ditutup.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِخِمَارٍ
“Tidaklah diterima oleh Allah shalat seorang wanita yang sudah mengalami haidh kecuali dengan khimar (menutupi kepala dan lehernya).”[2]
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa ia bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah wanita boleh shalat dengan mengenakan gamis dan kerudungnya saja, lalu tidak memakai izar (sarung di bawahnya)?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,
إِذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّى ظُهُورَ قَدَمَيْهَا
“Boleh jika memang gamisnya lebar memanjang hingga menutupi punggung telapak kakinya.”[3]
Hadits di atas menunjukkan bahwa wajib bagi wanita saat shalat menutup kepala dan lehernya sebagaimana dapat disimpulkan dari hadits ‘Aisyah. Hendaklah pula wanita menutupi anggota tubuh lainnya hingga punggung telapak kakinya sebagaimana kesimpulan dari hadits Ummu Salamah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan dalam Majmu’ah Al-Fatawa (22:113-114), “Apabila wanita shalat sendirian, maka ia diperintahkan untuk menutup kepalanya. Namun kalau ia berada di rumah dalam keadaan tidak shalat, ia boleh membuka kerudungnya. Seorang wanita menutup auratnya dalam shalat karena menjalankan perintah Allah. Karenanya tidak boleh seseorang melakukan thawaf keliling Ka’bah dalam keadaan telanjang walaupun ia melakukannya sendirian di malam hari. Begitu pula seseorang tidak boleh shalat dalam keadaan telanjang walaupun ia shalat sendirian. Maka dapat diketahui bahwasanya menutup aurat dalam shalat berbeda dengan menutup aurat di luar shalat, yang satu punya bahasan sendiri berbeda dengan lainnya.”
5- Wanita hendaklah menghimpitkan anggota badannya ketika ruku’ dan sujud, tidak membuka atau merenggangkannya karena hal ini lebih menutupi aurat wanita.
Imam Nawawi rahimahullah menyatakan dalam Al-Majmu’ (3:455), “Imam Syafi’i rahimahullah dalam Al-Mukhtashar menyatakan bahwa tidak ada bedanya antara laki-laki dan perempuan dalam cara mengerjakan shalat kecuali wanita disunnahkan untuk merapatkan anggota tubuhnya dengan lainnya atau menghimpitkan antara perut dan pahanya saat sujud. Ini juga dilakukan ketika ruku’ dan dilakukan pada setiap shalat.”
6- Shalat wanita secara berjamaah dengan diimami sesama wanita, tentang hukum hal ini para ulama berbeda pendapat, ada yang melarang dan ada yang membolehkannya. Kebanyakan ulama menyatakan hal itu tidak terlarang. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan pada Ummu Waraqah untuk mengimami orang-orang yang ada di rumahnya.
Wanita masih dibolehkan mengeraskan suara jika tidak ada laki-laki non-mahram yang mendengarnya.
7- Boleh bagi wanita keluar dari rumah untuk mengerjakan shalat berjamaah di masjid bersama jamaah pria. Namun shalat wanita di rumahnya lebih baik karena di rumah itu lebih tertutup.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Namun shalat di rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.”[4]
Semoga bermanfaat, masih berlanjut nantinya pada edisi berikutnya insya Allah. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
—
[1] Imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Tidak sah azan kecuali dari seorang muslim yang berakal dan laki-laki. Adapun orang kafir dan gila tidaklah sah mengumandangkan azan karena mereka bukanlah orang yang diperintahkan beribadah. Azan dari wanita juga tidak diperkenankan karena wanita tidak disyariatkan untuk azan, sama seperti orang gila tadi tidak diperkenankan pula untuk azan. Begitu pula seseorang yang mengalami kerancuan jenis kelamin (ambiguous genitalia atau bahasa Arabnya ‘khuntsa’, pen.), tidak boleh mengumandangkan azan karena tidak bisa dihukumi sebagai laki-laki. Ini semua juga menjadi pendapat dalam madzhab Syafi’i. Kami tidak mengetahui khilaf dalam hal ini.” (Al-Mughni, 2:68)
[2] HR. Abu Daud, no. 641; Tirmidzi, no. 377; Ibnu Majah, no. 655. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[3] HR. Abu Daud, no. 640. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if.
[4] HR. Abu Daud, no. 567; Ahmad, 2:76. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Juga ada hadits lainnya yang menunjukkan shalat di rumah bagi wanita itu lebih utama.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةُ الْمَرْأَةِ فِى بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى حُجْرَتِهَا وَصَلاَتُهَا فِى مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى بَيْتِهَا
“Shalat seorang wanita di kamar khusus untuknya lebih afdhal daripada shalatnya di ruang tengah rumahnya. Shalat wanita di kamar kecilnya (tempat simpanan barang berharganya, pen.) lebih utama dari shalatnya di kamarnya.” (HR. Abu Daud, no. 570. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ مَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوتِهِنَّ
“Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah di bagian dalam rumah mereka.” (HR. Ahmad, 6: 297. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dengan berbagai penguatnya).
Referensi utama:
Tambihaat ‘ala Ahkam Takhtash bi Al-Mukminaat, hlm. 31-33. Cetakan pertama, Tahun 1426 H. Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan. Penerbit Darul ‘Aqidah.
—
Disusun @ Perpus Rumaysho, 19 Muharram 1439 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com